Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
FeaturedNasional

Siaran Pers Komnas Perempuan Untuk Mengingatkan Amanat CEDAW

2
×

Siaran Pers Komnas Perempuan Untuk Mengingatkan Amanat CEDAW

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Siaran Pers Komnas Perempuan Untuk Mengingatkan Amanat CEDAW
Pentingnya Mengembalikan Mandat Negara Dalam Memperkuat National Women’s Machinary di Indonesia
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)

Jakarta, Gramediapost.com

Example 300x600

Lahirnya Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan tidak terlepas dari sejarah gerakan
perempuan baik di tingkat internasional maupun nasional. Ratifikasi
CEDAW oleh Indonesia juga turut berkontribusi untuk menguatkan gerakan
perempuan di Indonesia. Indonesia memiliki institusi yang berperan dalam
memastikan hak perempuan atas hak sipil, budaya, ekonomi, sosial dan
politik, serta pembangunan yang melibatkan perempuan. Kedua institusi
tersebut adalah, pertama; Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang
kemudian pada tahun periode pemerintahan tahun 2009-2014 berubah
menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA), padahal sejarah lahirnya tahun 1974 bernama Menteri Peranan Wanita.
Salah satu implementasi Indonesia setelah meratifikasi konvensi CEDAW
adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES RI)
Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam
Pembangunan yang dapat menjadi sumber kekuatan untuk dapat mengentaskan persoalan ketidaksetaraan gender dalam pembangunan secara inklusif,
termasuk juga mengatur anggaran yang responsif gender.

Institusi yang kedua adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) yang lahir dari gerakan perempuan pasca
terjadinya kekerasan seksual tragedi kemanusian 13-15 Mei 1998, yang
menjadikan CEDAW sebagai dasar kerja-kerjanya, dengan fokus kekerasan
terhadap perempuan. Perbedaan keduanya, bahwa KPPPA adalah lembaga eksekutif, sementara Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga HAM independen, mekanisme korektif untuk isu- isu HAM Perempuan di
Indonesia. Keduanya saling berkolaborasi kritis. Komnas Perempuan 1 dekade lalu termasuk yang menentang wacana peleburan Kementerian
Perempuan, mendorong kenaikan anggaran kementerian ini agar bisa
menjangkau penanganan kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia, termasuk memberikan masukan substantif maupun korektif untuk memperkuat women machinery ini.

Masih dalam konteks memperkuat kedua national women’s machineries di
Indonesia ini, sebagaimana diamanatkan Komite CEDAW dalam Concluding
Comment 2012 terhadap pemerintah RI, salah satu yang ditandaskan adalah
memperkuat kedua women’s machinary tersebut. Namun dalam perkembangannya, mandat kementerian pemberdayaan perempuan diperluas
dengan isu anak, bahkan isu perempuan semakin dikaburkan karena
pemahaman netral gender yang tidak melihat kompleksitas isu perempuan.
Lebih jauh lagi karena banyaknya persoalan keluarga, muncul ide-ide
merubah kementerian yang fokus pada perempuan ini, menjadi kementerian
ketahanan keluarga, yang semakin mengaburkan akar persoalan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, atas nama harmoni.

Sementara Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM perempuan independen,
yang sudah direkomendasi oleh berbagai mekanisme HAM di PBB untuk
mendapat dukungan dan penguatan kelembagaan, hingga saat ini, kuat
legitimasi politik dan dukungan dari berbagai lembaga negara utamanya
presiden, namun dukungan konkrit untuk menopang kerjanya masih sangat
minim untuk menjalankan mandat besar membangun situasi kondusif bagi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Untuk merespon situasi di atas, sebagai peringatan CEDAW setiap tanggal
24 Juli, pada tanggal 30 Juli 2019, Komnas Perempuan mengadakan
Konsultasi Publik dengan mengundang para tokoh yang menjadi pelaku dan
saksi sejarah lahirnya konvensi tersebut. Pada pertemuan tersebut Komnas
Perempuan menerima masukan lebih dari 14 tokoh sejarah dan para pakar
sebagai refleksi penguatan kedua institusi negara dari segi mandat dan
kewajiban negara. Tokoh tersebut diantaranya adalah Meutia Hatta,
Saparinah Sadli, Achie Luhulima, Sinta Nuriyah, Mely G. Tan, Sjamsiah
Achmad, Francisia Saveria Sika Ery Seda, Ani Widyani Soetjipto, Yudha
Irlang, Atashendartini Bahsjah, Zumrotin, Tumbu Saraswati, Zaitunah
Subhan, dan telah hadir dari Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani.

Konsultasi publik yang dihadiri oleh para tokoh dan sekitar 200 penggiat
isu perempuan tersebut menghasilkan sejumlah poin yang perlu disampaikan
kepada pemerintah RI maupun legislatif ke depan sebagai upaya meneguhkan
implementasi mandat CEDAW di Indonesia. Adapun catatan dan rekomendasi tersebut :
-CEDAW lahir dan berkembang sebagai Konvensi yang utuh juga
diperjuangkan oleh Indonesia melalui setidaknya 3 tokoh Indonesia yang
pernah duduk di Komite CEDAW, dan perjuangan kolaboratif negara, lembaga
HAM Perempuan dan CSO;
-Dengan meratifikasi CEDAW tidak bisa menghilangkan kata perempuan dalam
women machinery yang ada di Indonesia, baik Kementerian Pemberdayaan Perempuan maupun Komnas Perempuan. Apalagi digantikan menjadi Ketahanan Keluarga. Dalam hal ini bukan berarti dua institusi ini anti pada keluarga, melainkan Indonesia perlu memiliki institusi dengan mandat
khusus yang memikirkan, melindungi, mengawasi masalah perempuan,
khususnya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Karena pembiaran diskriminasi dan kekerasan akan merapuhkan ketahanan
keluarga, namun isu perempuan tidak selalu terselesaikan dan dikecilkan
dalam isu keluarga. National Women’s Machineries jangan ditempatkan
dalam urusan keluarga dan rumah tangga saja, tetapi peran strategis
pada ruang-ruang sosial politik untuk menyelesaikan persoalan perempuan
dalam berbagai lintas isu;
-Perlu penguatan kedua institusi national women’s machineries di atas,
baik Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Komnas Perempuan, baik dukungan politis, substantif maupun dukungan untuk menopang kerja-kerjanya. Perlu ada kejelasan program dan strategi yang
dilakukan agar tidak setengah-setengah yang berimplikasi pada
kewenangan, cakupan kerja dan anggaran;
-Ratifikasi CEDAW saat ini sangat kurang sosialisasi, sehingga negara
maupun masyarakat perempuan menjadi jauh dari informasi tentang hak-hak
perempuan. Oleh karena itu negara perlu kembali menggencarkan isu-isu
HAM perempuan, termasuk melakukan penerapan Pengarusutamaan Gender
dengan perspektif yang tidak buta atau netral gender, namun berpihak
pada yang rentan;
-Dalam 20 tahun reformasi. Mandat CEDAW masih banyak pekerjaan rumah,
antara lain masalah perkawinan anak perempuan tinggi, Angka Kematian Ibu
yang belum dapat diturunkan, perempuan dengan gizi buruk, penggusuran ruang hidup perempuan karena industri ekstraksi, nasib petani dan buruh migran perempuan yang belum sepenuhnya terselesaikan;
-Berbagai pihak perlu merespon tantangan Kesetaraan dan Keadilan Gender yang kerap dipolitisasi dan dibenturkan dengan pemahaman agama dan menghasilkan propaganda yang negatif tentang Hak Asasi Perempuan,
contohnya bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi polemik yang panjang, tanpa menelaah substansi dengan cermat, dan tanpa menggunakan perspektif korban.

Oleh karena itu kepada Kabinet Pemerintahan Baru dan anggota Legislatif berikutnya, Komnas Perempuan merekomendasikan agar poin-poin hasil konsultasi dari tokoh-tokoh perempuan dan pemerhati isu perempuan tersebut dapat menjadi acuan penting dalam memperkuat National Women’s Machineries di Indonesia ke depan, sebagai bagian dalam menjalankan Amanah CEDAW untuk menuju Indonesia yang berkesetaraan dan berkeadilan.

Narasumber:
Azriana (Ketua dan Komisioner)
Mariana Amiruddin (Komisioner)
Masruchah (Komisioner)

Narahubung:
Elwi Gito (Telp: +62-21-3903963)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *