Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
FeaturedOpini

MEMPERINGATI HARI REFORMASI PROTESTAN (1517-2020): PADAMNYA SEMANGAT REFORMASI DALAM GEREJA DAN STT, TERMASUK PADA INSTITUSI YANG (KATANYA) REFORMED

27
×

MEMPERINGATI HARI REFORMASI PROTESTAN (1517-2020): PADAMNYA SEMANGAT REFORMASI DALAM GEREJA DAN STT, TERMASUK PADA INSTITUSI YANG (KATANYA) REFORMED

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MEMPERINGATI HARI REFORMASI PROTESTAN (1517-2020): PADAMNYA SEMANGAT REFORMASI DALAM GEREJA DAN STT, TERMASUK PADA INSTITUSI YANG (KATANYA) REFORMED

 

Example 300x600

OLEH: PDT. DANIEL LUCAS LUKITO

 

PENDAHULUAN

Selama satu tahun belakangan ini, saya puluhan kali menerima sharing dan mendengar keluhan atau curhat dari pendeta, dosen, majelis, aktivis, dan kalangan awam tentang situasi gereja atau kekristenan, yang dalam hal ini lebih berkenaan dengan arah pengajaran gereja atau juga sekolah tinggi teologi (STT) yang dirasakan mulai menyimpang dari ajaran sehat atau dasar iman Kristen yang solid.

Kebanyakan nada pembicaraannya mengarah pada perubahan yang terjadi pada aras pimpinan, yaitu pada hamba Tuhan, pimpinan, majelis, ketua sinode, atau pengurus yayasan ini-itu. Hamba Tuhan, pendeta, dosen teologi, atau bahkan lulusan muda dari STT dirasakan sering kali cenderung mengalah dan mengikuti arah culture dan arus zaman yang semakin hari semakin “menggarami” gereja dan STT ketimbang sebaliknya, yaitu gereja atau seminari yang seharusnya semakin mempengaruhi budaya dan zaman. Hal ini berarti “dewi kuno” sekularisme dan pragmatisme kembali digemari dengan tujuan awal dimaksudkan untuk mempengaruhi dunia, namun yang terjadi realitanya justru tidak demikian.

Orang awam di gereja saja bisa menilai bila ada pendeta atau dosen teologi yang berkhotbah, memberi seminar, atau mengajar tidak lagi meninggikan Alkitab sebagai firman Allah, tetapi meninggikan cara-cara yang diadopsi dari filsafat, sosiologi, psikologi, ilmu retorika, atau malah metode pemberdayaan dari berbagai ajaran di luar firman Tuhan. Beberapa orang bahkan pernah menginfokan bahwa ada pendeta yang mengaku evangelical atau Reformed, tetapi berkali-kali lupa membaca Alkitab dalam khotbah di kebaktian hari minggu. Bukankah ini adalah sebuah pertanda yang parah sekali dan dapat dikategorikan sebagai gejala pengabaian otoritas Alktab? Kalau sudah begitu, yang terlihat dalam khotbah bukanlah eksposisi atau penggalian Alkitab dan prinsip pengajaran yang selaras dengan iman Kristen, melainkan pengajaran dari pola dan patron dunia ini yang dihadirkan, dan akhirnya sang pendeta lebih terlihat sebagai motivator ketimbang ekspositor.

Lalu dalam penyampaian khotbah atau pengajarannya, ada hamba Tuhan atau pengajar Kristen yang menyingkirkan semua simbol iman Kristen (misalnya, salib, atau bahkan mimbar gereja), dan mereka tampil sebagai pastor-preneur (pendeta entrepreneur) atau tampil nyaris bagai bintang film, celebrity, atau rock star, bersama istri pendeta yang tampil modis dengan fashion yang trendi, serta tidak ketinggalan hair-style dibuat serupa penyanyi K-Pop dengan cat warna-warni sampai-sampai ada yang tidak mengenal yang bersangkutan sebagai istri hamba Tuhan. Belum lagi tema-tema yang dibahas biasanya bernuansa kontroversial, sensasional, polemikal, dan bombastis. Semua ini lagi-lagi dibuat dengan alasan utama (katanya) untuk menjangkau atau mencoba menjadi relevan bagi generasi unchurched atau anak-anak muda yang tidak bergereja (sebuah pembenaran yang terkesan baik dan “mulia” pada awalnya).

Situasi ini sebetulnya mirip dengan perilaku sebagian gereja di Barat (dan sudah mulai terlihat di sini) yang terobsesi dengan gerakan church growth (pertumbuhan gereja) secara kuantitatif (baca: mengejar penambahan jumlah anggota semata), di mana mereka bersedia “membanting harga” mengorbankan nilai-nilai teologis yang esensial. Maksudnya, demi meningkatkan membership atau penambahan peserta ibadah atau acara gereja, sebagian gereja tidak peduli dengan doktrin yang ketat dan khotbah yang berbobot dan biblikal, dan mereka mengadopsi segala bentuk entertainment dunia, teknologi terkini, dan kiat-kiat marketing lingkup bisnis ke dalam ibadah jemaat.

Penyimpangan worship semacam ini telah dapat kita lihat sekarang pada cukup banyak gereja dari berbagai denominasi. Yang barangkali belum disadari adalah: Semua penyimpangan itu bermula dari obsesi untuk selalu menjadi “relevant, practical, successful, and well- liked,” tetapi sekaligus meninggalkan kesetiaan pada doktrin yang esensial.

Terlebih lagi di masa pandemi yang sedang melanda seluruh dunia sekarang ini, di mana mayoritas acara-acara gereja atau STT dilakukan secara virtual melalui media sosial, kita dapat lebih jelas lagi melihat tampilnya warna kekristenan model baru zaman kekinian melalui Youtube, Facebook, Instagram, atau Zoom, yaitu melalui pengkhotbah atau pengajar yang seolah- olah menyampaikan pemberitaan firman (sebagian juga diwarnai dengan maraknya pengajaran dari sekte, bidat, atau aliran ekstrem tertentu), namun bila diteliti lebih mendalam sebagian yang tampak adalah upaya berlomba-lomba menampilkan diri, menaikkan rating, atau mencari followers semaksimal mungkin yang ujung-ujungnya memuliakan diri, bukan memuliakan Tuhan. Dalam konteks ini saya rasa kita perlu melihat apa yang diketengahkan oleh George Barna yang mengetuai Cultural Research Center ketika ia menganalisis situasi perkembangan gereja atau kekristenan di Amerika Serikat. (Biasanya fenomena yang jelek-jelek sering kali “diekspor” oleh negara ini ke seluruh dunia; misalnya, perayaan Halloween yang diadakan di mana- mana 31 Oktober persis di hari Reformasi. Terlalu.) Penemuan yang dirilis tanggal 6 Oktober 2020 ia beri judul: “American Christians are Redefining the Faith: Adherents Creating New Worldviews Loosely Tied to Biblical Teaching” (https://www.arizonachristian.edu/wp-content/uploads/2020/ 10/CRC_AWVI2020_Release11_Digital_04_20201006.pdf). Sebetulnya itu adalah rangkuman dari sebuah riset yang dilakukan Januari 2020 dengan mengambil sampel (51 pertanyaan yang dijawab oleh) 2000 perwakilan dari enam denominasi besar (termasuk Katolik) dan dua di antaranya adalah evangelicals dan mainline Protestant.
Intisari sebagian hasil yang didapat dari riset tersebut adalah: pertama, kalangan gereja injili terlihat semakin sekular, yang ditandai misalnya oleh temuan bahwa “A majority (52%) of evangelicals reject absolute moral truth; 61% do not read the Bible on a daily basis; 75% believe that people are basically good.” Bahkan sebagian orang injili itu terang-terangan mengaku mereka mengadopsi “a variety of beliefs and behaviors counter to biblical teaching and longstanding evangelical beliefs.”
Kedua, kelompok “mainline Protestants” (sebut saja: kaum liberal dan neo-ortodoks) dikatakan sebagai lapisan yang paling sekular, karena “Sixty percent (60%) of mainline Protestants’ beliefs directly conflict with biblical teaching,” dan lebih gawat lagi “Only 41% of mainline Protestants are bornagain.”

Jadi yang berlangsung secara pelan tetapi pasti adalah cukup banyak gereja dan lembaga yang masih mengaku “Kristen,” namun mereka melakukan modifikasi dengan cara “essentially customizing Christianity to their liking and ignoring the historical distinctives of the churches to which they belong.” Artinya, mereka masih mengaku injili, Protestan, atau Reformed, tetapi sesungguhnya sudah berubah atau sudah luntur pengakuan iman Reformasinya. Inilah yang disebut Barna sebagai “post-Christian Reformation” dan ia lebih lanjut mencatat: “Unfortunately, the theology of this reformation is being driven by American culture rather than biblical truth. The worldviews embraced by the adherents of these distinct religious communities reflect contemporary, worldly influence, rather than biblical influence.” Hal ini menandakan di dalam dunia kekristenan kekinian urusan kebenaran, Allah, dan Alkitab sebagai firman Allah sudah tidak terlalu penting dan sudah tidak menjadi standar atau patokan iman, sebab manusia dan standar sekular telah menggantikan kesemuanya itu. Khusus tentang Alkitab, memang masih dipakai dalam kebaktian Kristen di gereja (sebab kalau tidak pakai Alkitab, mosok mau pakai kitab dari “tetangga sebelah”?). Artinya, Alkitab masih dianggap kitab yang berisi ajaran-ajaran yang baik dan penting, namun bukan yang terpenting dan tidak menjadi patokan satu-satunya, mirip dengan situasi zaman sebelum Martin Luther melakukan Reformasi di Jerman setengah milenium yang lampau.

REFORMASI DAN PERSOALAN POSISI ALKITAB

Pada waktu Martin Luther (1483-1546), 503 tahun yang lalu, memakukan 95 Dalil ke dinding Gereja Castle di Wittenberg, Jerman, 31 Oktober 1517, motivasi utama dari Luther bukanlah mendirikan denominasi gereja baru (dan tentu saja bukan karena ia kebelet tidak tertahankan lagi ingin menikah, sebagaimana sangkaan yang beredar di lingkungan penentangnya). Dorongan utamanya adalah memurnikan gereja, teristimewa mengembalikan gereja pada pengajaran yang sesuai dengan otoritas Alkitab. Pada masa itu gereja Roma Katolik mengajarkan beberapa doktrin yang keliru (misalnya, doktrin transsubstansiasi dalam perjamuan kudus, kedudukan otoritas Paus yang begitu tinggi, praktik berdoa untuk orang yang sudah meninggal, atau doktrin pengantara dalam soteriologi yang menyimpang), namun pergeseran pengajaran yang paling mengganggu Luther adalah gereja melegalkan penjualan indulgences, yakni surat penghapus hukuman (gereja Katolik menyebutnya “surat pengurangan hukuman” dari purgatori). Sebut saja: itu adalah surat jalan untuk lolos dari api penyucian, dan dengan sendirinya dari neraka atau maut (“get-out-of-hell-free card”).

Legalisasi penjualan indulgences sebetulnya sudah dimulai tahun 1095 ketika Paus Urban II berkuasa. (Ketika Konsili Trent belakangan mengutuk transaksi jual-beli ini tahun 1563, barulah Paus Pius V empat tahun kemudian sama sekali menghapuskan indulgences pada 1567. Dengan demikian penjualan indulgences itu sudah berjalan selama 472 tahun, dan herannya, selama ratusan tahun itu semua orang, terutama yang melayani sebagai pejabat gereja, diam saja serta merestui penyimpangan tersebut.) Namun proses “perdagangan” indulgences yang terjadi di Jerman-lah yang paling “terkenal,” yaitu seorang rahib yang bernama Johann Tetzel (1465-1519) menggalakkan transaksi ini pada semua orang dengan tujuan untuk mengumpulkan dana dalam rangka membiayai renovasi gereja Basilica St. Peter di Roma. Sebenarnya pada sejangka waktu proses penjualan surat itu sudah dilarang karena dianggap salah dan menyimpang, tetapi dalam kenyataannya praktik berlanjut terus dengan persetujuan dari pejabat gereja yang korup.

Selama periode penjualan itu gereja melalui salesmen yang berkeliling di antara umat dan kaum bangsawan menawarkan surat indulgences itu untuk anggota jemaat (teristimewa ditawarkan pada orang kaya yang banyak duit-nya) yang keluarganya dianggap belum bertobat pada saat meninggal dunia. Gereja menjamin orang yang sudah check-out dari dunia ini dapat dilepaskan dari api penyucian yang dapat direalisasikan lewat imbalan uang atau emas/perak yang disetorkan ke gereja. Cara transaksi itu diyakini akan mengeluarkan dan menyelamatkan anggota familinya dari purgatory atau api pengucian. Ajaran yang menyimpang semacam ini (yaitu salvation by works) sama sekali tidak dapat dijumpai dalam ajaran dari Alkitab, tetapi surprise: gereja justru melegalkan dan mempraktikkannya! (Bukankah ini mirip dengan surprise yang dilakukan Paus Franciscus 21 Oktober 2020 yang tiba-tiba melegalkan persatuan kaum LGBTQ di lingkungan gereja Katolik?)

Tetapi kritik Luther tersebut membuat Paus sebagai pimpinan gereja waktu itu “kebakaran jenggot” alias murka besar, apalagi perhatikan: pada masa itu tidak ada televisi, internet, handphone, Twitter, Facebook, atau WhatsApp, namun entah bagaimana 95 tesis itu langsung dengan cepat “secara viral” tersebar ke mana-mana. Selama periode tiga tahun (1518-1521) Luther dipanggil, diinterogasi, ditekan, dan dikucilkan oleh pejabat gereja. Sungguh keterlaluan sikap penguasa dan gereja pada waktu itu: Luther diperlakukan bagaikan penjahat kasus kriminal, disebut roh jahat dalam rupa manusia, disamakan dengan pemimpin bidat, dan ia divonis dengan hukuman mati secara in absentia. Di penghujung dari semua tekanan kepausan adalah dipanggilnya Luther pada 17 April 1521 untuk hadir di sebuah persidangan di kota Worms, Jerman, yang dihadiri para bangsawan, pejabat gereja, dan Kaisar Charles V. Pada hari itu ia diminta untuk mencabut tulisan dan perkataan-perkataannya, dan kepadanya diberikan waktu 24 jam untuk memikirkannya. Keesokan harinya, yaitu 18 April 1521, ia menolak dengan tegas sambil mengeluarkan alasan penolakannya yang terkenal pada pukul 6 petang (dikutip dari Willem Berends, “Prophecy in the Reformation Tradition,” Vox Reformata 60 [1995] 31-32 [bold dari saya]):
Unless I am convinced by the testimony of Scripture or evident reason . . . I am bound by the scriptural authorities cited by me, and my conscience is captive to the Word of God; I will recant nothing and cannot do so, since it is neither safe nor honest to do ought against conscience. Here I stand! I can do no other! God help me. Amen.

Jadi di akhir pembelaan dirinya, Luther menyebut soal kesaksian Alkitab yang menjadi patokan keyakinan dirinya untuk tidak menarik kembali tulisan-tulisannya. Baginya, firman Allah telah menawan atau menguatkan hati nuraninya untuk berdiri dengan kokoh di tengah “gempuran” tekanan dari kaisar, bangsawan, dan perwakilan dari Paus.

Pikiran Luther yang sangat meninggikan Alkitab sebagai firman Allah juga dapat dilihat dalam tulisannya yang berjudul The Babylonian Captivity of the Church yang ditulis tahun 1520. Memakai kisah di dalam Alkitab ketika Yerusalem dan kerajaan Yehuda dikepung dan umat Tuhan dibawa ke tempat pembuangan di Babel pada abad 6 SM, ia mengaplikasi kisah itu ke masa abad 16 di mana kekuasaan kepausan atau gereja di Roma yang ia analogikan sebagai kekuasaan Babel. Maksudnya, gereja pada waktu itu dianggap telah “menawan” pikiran umat dan mereka dijauhkan dari pengertian yang benar tentang sakramen. Gereja diibaratkan telah “membawa” umat ke tempat pembuangan (yaitu masuk ke dalam pengertian yang salah tentang sakramen). Di dalam karya tulis pendek ini, Luther bahkan dengan sengit menyebut Paus sebagai Antikristus dan Iblis. Bayangkan betapa kerasnya perkataan satu orang ini terhadap gereja Roma Katolik yang sangat dominan dan sangat berkuasa, bahkan yang berkuasa di atas raja atau kaisar di Eropa saat itu!

Dalam tulisan itu Luther juga menyoroti ketujuh sakramen dalam gereja Katolik, dan secara khusus sakramen baptisan dan perjamuan kudus yang ditinjaunya di bawah terang pengajaran Alkitab. Ketika mengeritik konsep perjamuan kudus dan doktrin transsubstansiasi, ia juga mempersoalkan sikap Paus dan gereja yang seakan-akan telah menyembunyikan Injil atau Alkitab yang adalah firman Allah dari semua orang. Hal ini berarti Alkitab, gereja, dan orang Kristen telah ditawan dan dibawa ke tempat pembuangan (menuju pemahaman yang keliru) oleh pemimpin gereja yang ada di Roma. Maka benarlah apa yang dicatat oleh David W. Lotz (“Sola Scriptura: Luther on Biblical Authority,” Interpretation 35/3 [July 1981] 259 [tambahan bold dari saya]):
In brief, then, the life, thought, and work of Martin Luther was inseparably bound up with the Word of God. . . . His theology is preeminently a theology of the Word and, as such, implicitly maintains the sufficient authority of that Word for the church’s faith and life.

Jadi, apabila teologi Reformed pada masa kini ingin benar- benar mengacu pada teologi Reformed setengah millenium yang lalu, orang yang mengaku Reformed itu harus menempatkan Alkitab yang adalah firman Allah pada posisi yang tertinggi, seperti contoh dari Luther. Hal ini berarti bila ada gereja/STT atau pimpinan gereja/STT yang mengaku berteologi Reformed, Reformed Karismatik, Reformed injili, atau apalagi, Reformed episkopal injili Karismatik (sebuah blending yang cukup digemari kelompok tertentu), tetapi tidak meninggikan Alkitab dalam khotbah dan pelayanan lainnya (lebih-lebih kalau sampai pendetanya dalam berkhotbah sering kelupaan membuka dan membaca Alkitab, atau kadang khotbah sudah berjalan hampir setengah jam baru ingat membaca beberapa ayat secara tergesa-gesa), maka kadar ke-Reformed-annya perlu diragukan, atau paling sedikit kadarnya tidak sama atau tidak setara dengan Reformed-nya Luther.

REFORMASI DAN PERSOALAN POSISI PIMPINAN GEREJA

Yohanes Calvin (1509-1564) adalah generasi kedua dalam Reformasi, dan melalui karya dialah Reformasi yang dirintis oleh Luther menjadi terlihat lebih mendalam dan sistematis. Di dalam teologi Calvinlah kita sering menjumpai penekanan supaya orang percaya dan tentu saja pimpinan gereja tidak pernah melampaui apa yang tertulis. Untuk itu ia selalu menegaskan bahwa ia menolak melampaui wahyu umum (di dalam alam) dan terutama wahyu khusus (Alkitab atau firman Allah). Jadi ia sendiri menolak berspekulasi terlalu jauh di dalam berteologi, selain sejauh apa yang dinyatakan dalam Alkitab, yaitu hanya Alkitab yang adalah firman Allah ditinggikan, tidak boleh ada otoritas lain yang sejajar, atau terlebih lagi diletakkan di atas posisi Alkitab, termasuk dalam hal ini otoritas gereja.

Berlawanan dengan gereja Katolik waktu itu yang sangat meninggikan wewenang gereja dan kedudukan Paus, ia justru menegaskan bahwa gereja harus tunduk kepada Alkitab. Alasan yang diberikannya sangat singkat, yaitu karena “Scripture has its authority from God, not the church.” (Institutes 1.7.1 [1:117]). Sebaliknya, gereja harus berdiri di atas dasar Alkitab (“The church is itself grounded upon Scripture”; Institutes 1.7.2 [1:118]). Karena itulah Calvin menolak bentuk pemerintahan gereja dalam sistem kepausan (the papacy/the pontiff) yang menempatkan seorang pemimpin yang absolut untuk seluruh dunia, dan ini dinilainya tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Menurutnya, hanya Kristuslah kepala gereja dan bukan Paus, karena headship-nya Kristus tidak bisa dialihkan atau ditransfer (non-transferable) kepada rasul Petrus atau kepada para Paus. Alasan lain adalah karena Kristus sendiri tidak pernah menunjuk atau mengangkat seorang kepala untuk menjadi semacam monarki bagi gereja di seluruh dunia.

Sebetulnya di dalam ekklesiologi atau doktrin tentang gerejanya Calvin, ia sering kali memakai istilah solus Christus yang arti harafiahnya “hanya Kristus” dengan maksud hendak menegaskan keutamaan Kristus (the primacy of Christ). Ia sendiri tidak mengklaim bahwa penegasan ini adalah ajaran orisinil dari dirinya atau para Reformator. Solus Christus adalah tema besar yang sudah ada jauh-jauh hari sebelum Reformasi. Demikian pula halnya dengan tema lainnya, semisal sola fide, sola gratia, dan sola Scriptura. Tema-tema tersebut muncul kembali serta mendapat tekanan yang baru karena para Reformator menemukan adanya distorsi atau penyimpangan pada ajaran gereja waktu itu. Mereka menegaskan kembali ajaran tentang solus Christus karena berhadapan dengan gereja yang menekankan bukan hanya keutamaan Kristus, tetapi juga para santo dan tentu saja Paus sendiri.
Hal ini menandakan Calvin sebenarnya menentang konsep bahwa Paus memiliki dominasi atau kekuasaan atas semua jabatan gerejawi, oleh karena Kristus adalah Raja atas gereja, maka semua ketentuan mengenai pemerintahan gereja dan penetapan pejabat gerejawi harus mengacu pada ajaran Alkitab serta berpegang pada pengakuan bahwa Kristus adalah Raja. Jadi, di dalam sistem pemerintahan gereja tidak boleh dipergunakan sistem monarki atau sistem yang mengarah pada “tyrannical spiritual power” baik dalam lingkup lokal, regional, maupun universal.

Dalam konteks inilah kita perlu membedakan dua istilah yang kelihatannya mirip namun berseberangan jauh, yakni prinsip sola scriptura (sebaiknya diterjemahkan “by Scripture alone”) dan prinsip solo scriptura (diterjemahkan “Scripture alone”; perhatikan beda di abjad “a” dan “o”). Keith A. Mathison (“Solo Scriptura: The Difference a Vowel Makes,” http://www.bible- researcher.com/mathison.pdf; pp. 5-6 [bold dari saya]) menjelaskan perbedaannya sebagai berikut:
The fundamental problem with ‘solo’ Scriptura is that it results in autonomy. It results in final authority being placed somewhere other than the Word of God. It shares this problem with the Roman Catholic doctrine. The only difference is that the Roman Catholic doctrine places final authority in the church while ‘solo’ Scriptura places final authority in each individual believer. Every doctrine and practice is measured against a final standard, and that final standard is the individual’s personal judgment of what is and is not biblical. The result is subjectivism and relativism. The reformers’ appeal to ‘Scripture alone,’ however, was never intended to mean ‘me alone.’

Dengan demikian, yang benar adalah penegasan tentang sola scriptura (by Scripture alone) harus dibarengi dengan kesadaran dari setiap individu, terlebih pimpinan dan pelayan gereja, bahwa ketika mereka melayani Tuhan sesungguhnya ada Kristus sebagai Raja gereja (dan mereka bukan raja), dan ada Alkitab yang secara objektif terbuka untuk menjadi patokan dan acuan (dan bukan manusia yang secara subjektif menafsirkan isi Alkitab menurut kesukaan atau preferensinya). Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu gereja atau pimpinan gereja memilih posisi solo scriptura, maka dengan sendirinya mereka akan terjerumus dalam kesalahan demi kesalahan (teristimewa pada mereka atau gereja yang mengaku Reformed), sebab mereka dapat terjebak pada autonomy atau posisi “me alone,” yaitu merasa diri tidak terbatas dan dapat menjadi pengambil keputusan final untuk segala sesuatu di luar kehendak Tuhan. Bila Paus selaku pimpinan gereja Katolik pernah melakukan kesalahan, bahkan banyak Paus sudah melakukan pelbagai kesalahan (lih. E. R. Chamberlin, The Bad Popes [Leeds: Sapere, 2020]), sangat mungkin pimpinan gereja di masa kini pada denominasi apa saja (evangelikal, Reformed, ekumenikal, Baptis, Metodis, Anglikan, Pentakosta, Karismatik) juga dapat melakukan kesalahan, khususnya bila pribadi pendeta atau pemimpin gereja telah berjelma menjadi final authority satu- satunya (menggantikan Alkitab).
Gereja dan STT yang pemimpinnya serupa ini sudah terlihat juga di mana-mana sekarang ini pada berbagai denominasi, yaitu pola kepemimpinan (yang secara tidak sadar mengadopsi pola) kepausan yang otonom dan nyaris absolut dalam segala sesuatu, termasuk dalam urusan doktrin. Memang di mana-mana kita dapat melihat pemimpin Kristen, pendeta gereja, pengurus organisasi, pengelola persekutuan, ketua STT, dan seterusnya menjadi sorotan, sebab secara usia mereka sudah seharusnya purna tugas atau pensiun, namun mereka tetap berkuasa secara adikara bagaikan raja yang kedudukannya tidak terbatas. Bila ia adalah seorang pendeta yang sudah “memerintah” lebih dari setengah abad, para majelis dan penatuanya pun mana berani melawan, apalagi memintanya turun? Lalu, sebagaimana zaman kepausan, cukup banyak pendeta di gereja evangelikal, Reformed, atau Karismatik yang sudah rada pikun, sering salah ngomong, dan rada nge-hang dalam segala sesuatu, juga dalam hal pengajaran, tetapi tetap tidak mau lengser. Tambahan pula, sebagian dari mereka belakangan ini malah mengabaikan reputasi mereka sendiri melalui macam-macam perilaku yang immoral, sehingga jemaat yang paling awam pun tahu bahwa pendeta mereka korup, haus kekuasaan, suka berbohong, terlibat dalam masalah infidelitas (perselingkuhan), materialistis, tamak, dan terjerumus dalam perebutan aset sampai berurusan dengan yang berwajib dan ke pengadilan. Hal ini menandakan sejarah masa lampau dari perilaku the bad popes terulang kembali di abad 21. Koq pemimpin atau pendeta di zaman melek teknologi sekarang malah semakin terpuruk dan korupnya merata pada semua denominasi?

REFORMASI DAN PERSOALAN POSISI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI (STT)

Istilah “post-Christian Reformation” yang dipakai George Barna di atas tidak berarti mereka yang tadinya memiliki akar dari gereja atau STT yang berorientasi Reformasi tidak ingin disebut “Kristen.” Justru sebaliknya, mereka tetap ingin dinamakan “Kristen,” namun warna teologi Reformasi mereka “is being driven by . . . culture rather than biblical truth. The worldviews embraced by the adherents of these distinct religious communities reflect contemporary, worldly influence, rather than biblical influence.” Haluan yang ingin dituju adalah terciptanya label “Kristen” melalui upaya mempreteli unsur “Reformed,” di mana “kendaraan” (vehicle atau sarana) yang dipergunakan adalah “culture” atau “contemporary worldly influence.” Kira- kira maksudnya: asal jangan Reformed, atau lebih terang-terangan lagi, asal jangan Reformed yang meninggikan Alkitab.

Saya sudah melihat dan mengamati selama bertahun-tahun adanya pendeta atau teolog yang melayani di gereja atau STT injili dan lebih-lebih lagi non-injili berusaha sedapat mungkin meminimalkan pengajaran doktrin tentang Alkitab atau pengajaran doktrinal dari para Reformator. Mereka lebih senang mereinterpretasikan Alkitab sedemikian rupa untuk “disesuaikan” (bahasa kerennya: direlevansikan) dengan situasi zaman (culture) pada masa kini. Kecenderungan semacam ini telah “dinubuatkan” oleh Os Guinness (Prophetic Untimeliness: A Challenge to the Idol of Relevance [Grand Rapids: Baker, 2003] 63 [tambahan bold dari saya]):
Centuries ago the prophet Isaiah of Jerusalem charged that the false prophets of his day were “the tail” of Judah’s society. They were not simply behind; they were behind because they were the tail that followed the dog. Without the decisive authority of the word of God that defined the true prophet, false prophets were simply captive to the culture they reflected. They were popular, they were entertaining, they were soothing, they were convenient, they were fashionable—and they were utterly false. In today’s world, the stance of the wagging tail has been elevated to the level of a creed.

Meskipun konteks pembicaraan Guinness adalah “evangelical community” yang berlokasi di dunia Barat, tetapi bukankah ada gereja atau STT yang sekarang bermetamorfosis menjadi non-injili di Indonesia, sebenarnya dulunya memiliki statement of faith injili, atau bisa juga ada yang lembaganya sampai saat ini masih memakai nama “injili” (misalnya, Gereja Anu-Anu Injili), tetapi sebenarnya cuma nama saja; artinya, mereka sudah jauh sekali dari pengakuan iman injili? Dengan kata lain, merek atau casing-nya injili, tetapi perangkat di dalamnya bukan. Bila meminjam istilah George A. Lindbeck (The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age [25th Anniversary Edition; Louisville: WJK, 2009] 60), “official doctrines”-nya secara tampilan luar tidak bermasalah karena ada orang yang menerima saja pengakuan iman yang resmi dari sebuah gereja atau institusi, namun “operational doctrines”-nya, yaitu ajaran yang dipercaya sehari-hari dan yang ada “di dalam sanubari”-nya ternyata berbeda sekali. Jadi, bisa saja ada pendeta atau dosen teologi yang ketika memulai karir di sebuah institusi injili, ia menampilkan diri dan comply (ikut dan nurut pada) ajaran yang resmi dari lembaga tersebut, tetapi secara lambat laun, karena desakan zaman dan demi sebuah obsesi, ia perlahan-lahan secara operasional atau dalam praktiknya secara diam-diam mulai mengajarkan doktrin-doktrin yang berbeda dengan pegangan institusi tersebut. Hal ini juga dapat terjadi ketika sebuah gereja atau STT (injili) melakukan pergantian pimpinan yayasan, rektor, atau dosen, di mana pimpinan baru tersebut (yang ternyata secara operasional berteologi non-injili) perlahan-lahan mengganti (baca: mencopot) semua yang bernuansa Reformed dan meminimalkan segala upaya untuk memperdalam pengetahuan tentang Alkitab. Bukankah hal yang sedemikian sudah pernah terjadi pada gereja atau STT tertentu?

Jikalau gereja Katolik di masa lampau (yaitu pada masa sebelum Luther mengadakan Reformasi) dapat jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan doktrin utama, mengapa aneh bila kita sekarang mengatakan bahwa sangat mungkin gereja (atau STT) bisa jatuh dalam kesalahan-kesalahan mirip masa lalu dalam upaya mereka melakukan relevansi? Saya rasa gereja-gereja injili, non-injili, Pentakosta, dan Karismatik perlu bercermin pada lintasan sejarah ini, teristimewa bila mereka mulai atau selama ini sudah terobsesi dengan relevansi, jumlah, dan kemajuan, tetapi mulai mengorbankan hal-hal yang esensial, khususnya berkenaan dengan kesetiaan pada firman Tuhan dan ajaran sehat.

Biasanya proses mencopot Alkitab untuk diganti dengan culture di STT injili maupun non-injili berlangsung sebagai berikut: mereka memulai mendekati atau menginterpretasikan Alkitab bukan dari text Alkitab atau berusaha mendalami “what the author meant” dari satu perikop bacaan. Yang dikedepankan adalah situasi atau realita kehidupan kekinian, yang kemudian “disulap” menjadi locus theologicus (tempat permulaan untuk berteologi), sehingga situasi atau realita kehidupan telah diubah menjadi “the written text.” Situasi atau realita inilah yang diinterpretasikan menggantikan Alkitab. Alhasil, secara perlahan tetapi pasti Alkitab lambat laun menjadi disappear atau lenyap di lingkungan STT atau gereja tertentu. Kalaupun Alkitab masih dipakai, misalnya ketika hendak memimpin ibadah hari minggu atau naik ke mimbar untuk berkhotbah (yaitu melalui seorang majelis jemaat yang menyerahkan sebuah Alkitab), pemakaian Alkitab hanya berlangsung secara simbolis atau seremonial sebagai pelengkap saja (dan memang kalau tidak pakai Alkitab mau pakai apa? Pakai buku primbon?). Terakhir, isi Alkitab pun telah mengalami reinterpretasi yang jauh sekali dari konsep teologi yang sehat.

Konsekuensi dari perlakuan terhadap posisi Alkitab sebagaimana yang terjadi sekarang adalah terbentuknya seberkas pikiran “teologis” (maksudnya, tetap kelihatan ada “gaung” teologis atau ungkapan-ungkapan yang rohani/spiritual), namun yang sebetulnya sudah menceraikan otoritas Alkitab dari pergumulan problema kekinian. Maka terjadilah yang disebut dengan pergeseran otoritas, yaitu otoritas Alkitab telah bergeser dari perkataan para penulis (Alkitab) kepada para pembaca zaman kekinian yang berfungsi sebagai interpreter (yaitu mereka hanya memakai situasi kultur atau situasi sosial masing-masing, dan situasi itulah yang diinterpretasikan). Pada akhirnya, secara perlahan tetapi “terencana” sebagian institusi teologi dan gereja telah “berhasil” melucuti semua unsur yang berbau Alkitab atau teologi Reformasi.

Coba kita perhatikan: Selama beberapa tahun belakangan ini di Indonesia terdapat sebuah trend di mana cukup banyak seminari atau STT yang berganti nama menjadi universitas, atau sekolah tinggi filsafat dan teologi. Tujuan yang eksplisit kemungkinan besar adalah untuk meningkatkan kualitas keakademikan atau menaikkan posisi saintifik atau keilmuan pendidikan teologi. Mengenai hal ini, saya ingat minimal sudah dua kali saya (khususnya pada waktu melayani sebagai rektor) mengingatkan rekan-rekan sepanggilan untuk berhati-hati menghadapi fenomena ini. Memang SAAT (Seminari Alkitab Asia Tenggara) yang sekarang disebut STT SAAT bukan dan tidak berubah menjadi sebuah universitas atau sekolah tinggi filsafat dan teologi. STT SAAT juga tetap adalah sebuah seminari yang injili dan memberikan pengajaran doktrin sesuai dengan teologi yang sehat. Namun demikian STT SAAT juga harus mengikuti (comply) dengan ketentuan akreditasi teologis nasional, regional (misalnya, PERSETIA, ATESEA, ATA), dan tuntutan BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Ketentuan dan tuntutan dari lembaga-lembaga tersebut pada umumnya cukup baik dan bermanfaat guna meningkatkan nilai keakademikan dan sisi keilmuan sebuah institusi.

Di tengah-tengah mengikuti arus akreditasi inilah saya mengingatkan: Jangan sampai visi-misi institusi dan penekanan pada pengajaran Alkitab dan teologi sistematika yang sehat dan ketat perlahan-lahan bergeser melalui cara mulai mengurangi porsi pengajaran yang basic demi menjaga relevansi institusi atau mengejar nilai keakademikan yang tinggi (academic respectability supaya setara dengan universitas). Saya sebut “perlahan-lahan,” karena institusi yang memiliki visi-misi yang injili biasanya tidak ada niat sama sekali untuk bergeser/berubah, tetapi akhirnya memang terjadi pergeseran setelah satu atau dua generasi.

Begitu juga kita dapat jumpai ada pendeta atau bahkan alumni SAAT yang sebelumnya sangat injili (khususnya sewaktu studi atau ketika baru lulus, yaitu ketika “roh-nya masih menyala- nyala”)—setelah lewat beberapa tahun (entah mengalami persoalan apa, menikah dengan siapa, terpengaruh situasi atau ajaran apa, atau bergumul dengan kebutuhan apa yang sulit diceritakan)—perlahan-lahan “api atau roh Pentakosta-nya mulai padam” dan setelah itu berubah juga pengakuan imannya ke arah pandangan ekstrem (baca: doktrin-doktrin yang aneh-aneh), namun yang bersangkutan seakan tidak menyadari dan tidak ada niat berkiblat ke sana. Bukankah sejarah Princeton Theological Seminary dan Fuller Theological Seminary di Amerika Serikat telah terjadi begitu jelas (berubah dari seminari injili menjadi seminari yang sama sekali tidak atau kurang injili)? Bukankah Yale dan Harvard pada awal didirikan adalah institusi yang baik teologinya sebelum perlahan-lahan berubah menjadi amat sekular? Kalau institusi—yang tentu di dalamnya ada komposisi pemikir, pengurus yayasan, dan dosen yang rata-rata terpelajar dan bergelar doktor—saja bisa bergeser dan berubah pengakuan imannya, lebih lebih lagi pribadi atau individu yang berteologi secara lone ranger?

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *