PENGARUH PEMIKIRAN AGUSTINUS TERHADAP PENDIDIKAN
Oleh: Susanti (Direktur Operasional I
Sekolah Kristen IPEKA)
Apakah pengetahuan itu dan darimana asalnya? Apakah hubungan akal manusia dengan pengetahuan? Dapatkah manusia mencapai pengetahuan yang tertinggi?
Pertanyaan tentang bagaimana menghubungkan iman dan rasio mewarnai pemikiran dan pergumulan banyak filsuf di abad pertengahan. St. Agustinus (354 – 430), filsuf dari kota Thagaste, Numibia, Romawi Afrika, mencari jawaban atas pertanyaan fundamental epistemologi tentang manusia, akal, sumber pengetahuan dan Allah sepanjang hidupnya.
Dalam menempuh perjalanan hidup penuh tantangan, petualangan hidup yang terbelenggu dengan kelemahan manusiawi dan perjuangan mencari kebenaran, Agustinus menuliskan refleksinya dalam sebuah mahakarya sastra yang pengaruhnya masih dirasakan sampai sekarang, khususnya bagi umat Kristen dan sejarah gereja. “Confessions”, mahakarya itu, adalah sebuah perjalanan pertobatannya dari kehidupan penuh dosa dan kembali kepada kehidupan yang terarah kepada kebenaran Kristus.
Sumber Pengetahuan
Bagi Agustinus, manusia adalah Imago Dei, makhluk yang diciptakan sesuai gambar dan citra Allah. Dia meyakini ada ketergantungan manusia kepada kedaulatan Tuhan (transendensi). Manusia juga merefleksikan sifat-sifat Penciptanya (Vestigium Dei) di dalam kehidupan sosialnya (imanensi). Agustinus meyakini bahwa Allah adalah sumber pengetahuan dan Firman-Nya adalah sumber kebenaran. Allah menciptakan akal manusia untuk memahami realita dunia dan masalah kehidupan. Bagi Agustinus, pemahaman pengetahuan manusia terbatas kepada benda-benda yang dapat dirasakan melalui panca indera, yang ditandai dengan simbol, misalnya, kita melihat dan mempelajari dunia ciptaan Tuhan beserta isinya, merasakan hangatnya sinar matahari, mendengarkan suara burung, dan merasakan dinginnya angin bertiup.
Selain tanda-tanda yang dapat dimengerti melalui panca indera, manusia juga menghadapi konsep abstrak dan sulit dipahami secara akal. Bagaimana manusia dapat memahami konsep matematika, geometri dan spasial? Bagaimana manusia dapat memiliki persepsi bahwa warna merah yang dilihat pada bunga di taman juga merupakan warna merah yang sama pada buah apel? Siapakah yang memberikan pengertian pada manusia sehingga dapat memiliki persepsi yang benar? Sekalipun Allah memberikan akal pada manusia, Agustinus meyakini bahwa manusia akan mampu memahami semua hal yang bersifat abstrak secara utuh hanya jika disinari oleh cahaya terang dari Allah (Divine Illuminations).
When we deal with things that we perceive by the mind, namely by the intellect and reason, we’re speaking of things that we look upon immediately in the inner light of Truth, … He’s taught not by my words but by the things themselves made manifest within when God discloses them.
(The Teacher 12.40.29–37)
Teacher’s Within
Agustinus meyakini bahwa manusia memiliki guru yang disebut teacher’s within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan pengetahuan. Teacher’s within menunjukkan langsung ke dalam pikiran manusia, hal-hal yang kita pelajari, sehingga kita mampu memahami pengetahuan, misalnya dalam mengerjakan soal pada pelajaran matematika, seringkali kita tidak memahami mengapa pembuktian matematika harus seperti itu. Ada ruang dimana kita tidak mengerti, namun setelah beberapa waktu, kita mendapatkan aha moment dan mengerti soal-soal matematika. Dalam hal ini, ada perbedaan pemahaman kognitif sebelum dan sesudah aha moment. Bagi Agustinus, inilah situasi dimana teacher’s within dalam diri manusia, yaitu Kristus, berperan memberikan penerangan akan apa yang tidak dipahami sebelumnya.
Menurut Agustinus, Allah menanamkan benih-benih kebaikan dalam diri manusia yang memampukan manusia untuk mengenal kebenaran. Sebagai penganut Neoplatonisme, Agustinus menegaskan pernyataan Plato, “semua kebenaran sudah ada dalam diri manusia”, sebagai Firman Allah. Manusia sebagai makhluk berdosa perlu memohon Roh Kristus untuk bekerja dalam hati dan pikiran sehingga dapat mengenali kebaikan dan kejahatan.
Hal tersulit dalam pendidikan moral adalah membawa manusia mengetahui apa yang harus diketahuinya (know what they ought to know) dan melakukan apa yang harus mereka lakukan (do what they ought to do). Walaupun manusia mengetahui hal yang baik, manusia dapat memilih untuk tidak melakukannya. Manusia harus memohon bantuan Allah untuk melakukan hal yang baik dan benar.
Berpikir Kritis
Sebagai pendidik, keterampilan “berpikir kritis” merupakan keterampilan abad 21 yang ingin kita tumbuhkan pada murid. Dalam berpikir kritis, manusia juga memerlukan kebebasan berpikir. Namun, kebebasan berpikir tanpa didasari dengan kebenaran Firman Allah akan melahirkan dosa. Untuk itu, manusia memerlukan hikmat Ilahi dalam proses berpikir kritis.
Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu itu benar? Apakah akal manusia mampu memberikan pemahaman tentang kebenaran? Bagi Agustinus, Allah yang menciptakan manusia telah mendesainnya dengan akal dan persepsi yang memampukannya memahami pengetahuan, termasuk keterampilan berpikir kritis yang merupakan bagian dari proses pembentukan identitas manusia. Keterampilan berpikir kritis tidak lepas dari nalar atau logika manusia dan berjalan beriringan dengan kehendak dan emosi. Ini harus dimulai dari hati dan pikiran yang mengenal dan mencintai kebenaran dan kebaikan.
Agustinus percaya bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan secara verbal dan tulisan, tetapi lebih kepada pendidikan hati dan pikiran manusia (educating mind and heart). Hanya melalui hati dan pikiran yang dipenuhi dengan kebenaran Firman Allah, maka manusia dapat berdialog dengan Allah dan memahami-Nya sehingga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya.
Warisan Pemikiran bagi Pendidikan
Walaupun Agustinus tidak pernah merumuskan tujuan pemikirannya secara khusus untuk dunia pendidikan, namun warisan pemikirannya memberikan pengaruh secara umum di dunia pendidikan.
Sebagai pendidik, kita dapat mengawali proses pembelajaran di kelas dengan berdoa meminta hikmat Tuhan dan mengakhirinya dengan doa ucapan syukur. Doa yang kita panjatkan seharusnya tidak menjadi rutinitas dan simbol keagamaan belaka. Berdoa berarti berserah dan yakin bahwa ada kuasa yang lebih besar di luar diri manusia yang mampu membawanya berada pada pemahaman yang utuh. Dengan demikian, manusia akan membangun kemampuan kognitifnya dalam mengelola pengetahuan yang kelak bermuara kepada kebijaksanaan (wisdom).
Kurikulum dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebenaran Firman Allah. Ada korelasi yang kuat antara ilmu dan iman sehingga proses pembelajaran harus mengintegrasikan keduanya. Dalam mempelajari dunia dan isinya, kita sebenarnya sedang mengagumi hasil karya-Nya dan belajar menjadi penatalayan yang baik. Dalam proses pembelajaran, seorang guru dapat mengajak murid menuliskan refleksi pembelajaran, misalnya membuat jurnal belajar atau manifesto pembelajaran yang menunjukkan bagaimana murid memahami dan menghubungkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan dirinya dan realita kehidupannya.
Pemikiran Agustinus, meski disampaikan hampir 1600 tahun yang lalu, tetap memberikan pesan-pesan yang sangat aktual bagi kita di abad 21. Warisan Agustinus berupa kesaksian hidupnya telah memberikan fundamental yang kokoh bagi setiap pendidik Kristen untuk bertahan di tengah aliran humanisme dan rasionalisme yang mewarnai dunia saat ini.
Referensi
Raymond Canning. (2014). Teaching and Learning: An Augustinian Perspective. Australian eJournal of Theology 3, 1-10. Diakses dari http://aejt.com.au/__data/assets/pdf_file/0007/395647/AEJT_3.4_Canning.pdf
Rorty, Amelie Oksenberg. (1998). Philosopher on Education: New Historical Perspectives. London and New York, 64-82: Routledge.
St.Agustinus. (1997). Pengakuan-pengakuan. Edisi ke 1. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius, BPK Gunung Mulia.
Tapio Puolimatka. (2005). Augustine and education in critical thinking, Journal of Beliefs & Values, 26:2, 191-200, DOI: 10.1080/13617670500164924