Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

0
240

 

Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

 

Jakarta, Pilarnkri.com

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Infeksi COVID-19 di lingkungan rutan dan lapas menjadi hal yang tidak terhindarkan. Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, sampai dengan 18 Januari 2021 telah terjadi 1.855 infeksi COVID -19 di 46 UPT Pemasyarakatan Rutan seluruh Indonesia. 1.590 orang WBP, 122 petugas rutan/lapas, 143 orang tidak diketahui WBP atau petugas terinfeksi COVID -19. Data dari media massa menunjukkan 4 WBP meninggal dunia.

Pada 13 Januari 2021 pemberian vaksin telah mulai dilakukan di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor:HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), pelaksanaan vaksin ini dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama (Januari-April 2021) untuk tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran dan bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Tahap kedua (Januari-April 2021) untuk petugas pelayanan publik yaitu Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal, perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat dan kelompok usia lanjut (≥ 60 tahun). Tahap ketiga 3 (April 2021-Maret 2022) untuk masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Sedangkan tahap keempat (April 2021-Maret 2022) untuk masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Kami menyoroti bahwa petugas rutan/lapas maupun WBP belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dalam program vaksinasi penanggulangan COVID-19. Pada tahapan pemberian vaksin kedua yang ditujukan kepada petugas pelayanan publik, seharusnya juga memprioritaskan petugas dalam setting tertutup seperti petugas dalam rutan dan lapas, terutama karena buruknya kondisi overcrowding lapas dan rutan. Petugas pemasyarakatan harus masuk dalam prioritas kedua ini.

World Health Organization (WHO) dalam Strategic Advisory Group of Experts on Immunization menyebutkan bahwa populasi pada fasilitas penahanan juga masuk ke dalam prioritas pertama untuk vaksin. Kebijakan ini baru direspon pemerintah pada 17 Januari 2021, melalui SK PAS-UM.01.01-01 tentang Persiapan Pelaksanaan Vaksin COVID-19 kepada Warga Binaan Pemasyarakatan kepada Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam SK tersebut, Direktur Jenderal Pemasyarakatan hanya memerintahkan Kepala Divisi Pemasyarakatan, untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi tentang kebutuhan dan rencana pemberian Vaksin COVID-19 bagi Petugas di jajaran Pemasyarakatan. Selebihnya masih dalam tahapan koordinasi dan sosialisasi yang belum menyentuh inti permasalahan. Dari kebijakan ini, terlihat bahwa rencana pemberian vaksin COVID-19 bagi petugas dan WBP di rutan dan lapas belum jelas.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Di sisi lain, upaya yang juga harus dilakukan Presiden dan jajarannya untuk secara cepat mengurangi overcrowding di rutan dan lapas adalah dengan cara melanjutkan proses asimilasi dan integrasi masal untuk mengeluarkan WBP dengan indikator utama berdasarkan kerentanan penularan COVID-19, berkoordinasi dan mendorong aparat penegak hukum utamanya kepolisian mengurangi beban penahanan untuk kasus-kasus yang tidak terlalu perlu untuk ditahan atau juga mendorong alternatif penahanan di luar rutan, dan mendorong Mahkamah Agung untuk mengoptimalkan penggunaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan.

Jakarta, 9 Februari 2021
Hormat Kami,

ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

***

(Hotben)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here