Gubernur Larang Mendaki Gunung di Bali, Yerry Tawalujan: Bertentangan dengan Prinsip Pariwisata Berkelanjutan
Jakarta, Pilarnkri.com
Kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster yang melarang pendakian ke 22 gunung di pulau Dewata mendapat sorotan dari politisi partai Perindo, Efrain Yerry Tawalujan.
Ketua DPP Partai Perindo yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dengan disertasi tentang pariwisata berkelanjutan ditinjau dari segi ilmu lingkungan ini mengatakan kebijakan gubernur melarang pendakian gunung di Bali kurang tepat ditinjau dari segi _sustainable tourism_ , pariwisata berkelanjutan dan _ecotourism_.
Yerry menjelaskan, merujuk pada definisi atau teori dari United Nation World Tourism Organization, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan untuk masa depan, sambil memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan komunitas tuan rumah (UNWTO, 2013).
“Pariwisata berkelanjutan itu memperhatikan 3 aspek utama, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Apakah ada manfaat ekonomi bagi penduduk sekitar destinasi wisata, apakah kehidupan dan tatanan sosial masyarakat (termasuk ritual keagamaan) terganggu atau tidak, dan apakah lingkungan tetap terpelihara dengan adanya kegiatan pariwisata,” ujar Yerry menjelaskan.
Berdasarkan rumusan pariwisata berkelanjutan oleh UNWTO itu, apakah pendakian gunung di Bali memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat? Apakah mengganggu tatanan sosial masyarakat? Apakah merusak lingkungan alam?
“Jika pertanyaan itu ditanyakan pada saya sebagai praktisi dan akademisi pariwisata, berdasarkan data empiris pertanyaan pertama jawabannya ya, bermanfaat secara ekonomi untuk penduduk setempat. Jawaban ke dua tidak mengganggu tatanan sosial masyarakat. Jawaban ke tiga memerlukan penelitian lebih lanjut, tapi hipotesisnya adalah para pendaki gunung yang mayoritas pecinta alam tidak akan merusak alam.
Jadi, lanjut Yerry, larangan pendakian gunung di Bali itu dasarnya apa? Apakah hanya berdasarkan kesakralan dan kesucian gunung?
“Ijin bertanya ke masyarakat Bali khususnya, mana lebih suci dan lebih sakral, pura tempat sembahyang atau gunung? Kan gampang jawabnya, pasti lah pura tempat sembahyang lebih suci dari gunung, karena gunung bukan tempat sembahyang,” jelasnya.
“Pura Besakih dan puluhan pura besar lainnya yang jelas sebagai tempat ibadah nan suci dan sakral saja terbuka untuk wisatawan. Ini koq mendaki gunung dilarang dengan alasan mengurangi kesakralan. Nalarnya tidak benar ini,” sergah Yerry.
Politisi partai Perindo yang akan maju sebagai caleg DPR RI dari Dapil Sulawesi Utara menjelaskan, berdasarkan teori _Ecotourism_ atau ekowisata, justru kegiatan pendakian gunung dan wisata ke alam itu harus lebih banyak dilakukan. Merujuk definisi _The International Ecotourism Society_ (TIES), ekowisata adalah perjalanan yang dilakukan dengan tanggung jawab ke kawasan alam untuk melestarikan lingkungan serta menopang kesejahteraan masyarakat lokal.
“Jadi kami meminta Gubernur Bali untuk tidak sewenang-wenang membuat kebijakan. Lakukan dulu kajian ilmiah. Atau minimal koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pihak KLHK khususnya Balai Taman Nasional gencar promosikan ekowisata ke taman-taman nasional, termasuk mendaki gunung. Jangan sampai kebijakan daerah bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat,” pungkas Yerry.