Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
FeaturedNasional

*SIAPA YANG PALING DIUNTUNGKAN DALAM KASUS “SALIB UAS” DAN PELECEHAN DISKRIMINATIF SAMPAI RUSUH PAPUA?*

32
×

*SIAPA YANG PALING DIUNTUNGKAN DALAM KASUS “SALIB UAS” DAN PELECEHAN DISKRIMINATIF SAMPAI RUSUH PAPUA?*

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

Oleh: Pdt. Yerry Tawalujan, M.Th

Example 300x600

Drama di dunia maya sampai dunia nyata bergulir deras empat hari terakhir ini. Viralnya video penghinaan salib oleh Ustad Abdul Somad (UAS) di media sosial, pelecehan diskriminatif mahasiswa Papua di Jawa Timur berujung demonstrasi mengarah kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

Penghinaan salib oleh UAS ternyata terjadi tiga tahun lalu. Layak ditanya, mengapa cuplikan videonya baru terviralkan sekarang?

Hanya berselang dua hari, terjadi penghinaan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dalam waktu singkat, pecah demo massa besar-besaran di Sorong, Manokwari dan Jayapura sebagai bentuk protes keras rakyat Papua atas penghinaan rasial yang terjadi di Surabaya.

*Apakah ini kelihaian sutradara mainkan skenario ciptakan kerusuhan horisontal?*

Pertanyaan itu valid diajukan. Apakah ada grand design dengan sutradara cerdik dibalik peristiwa beruntun ini?

Benang merahnya kelihatan jelas. Pertama mainkan issue penghinaan salib. Pancing reaksi marah umat Kristiani. Kemarahan umat Kristen dan Katolik, apalagi jika disertai aksi unjuk rasa turun ke jalan, justru akan menghasilkan kontra aksi pembelaan terhadap UAS. Tidak mustahil tercipta demo ala 212 lagi.

Tapi rupanya issue “Salib UAS” tidak mampu membakar kemarahan umat Kristen yang memilih memaafkan (walaupun si Ustad tidak minta maaf).

Lalu dipakailah skenario kedua. Penghinaan rasial terhadap warga Papua. Issue sensitif ini dengan cepat menyulut “nasionalisme” rakyat Papua di tanah Papua. Mengapa menyulut nasionalisme? Iya, karena rakyat Papua merasa sebagai sesama warga negara. Sah sebagai orang Indonesia dan tidak mau dilecehkan etnisnya oleh sesama warga Indonesia.

Tapi skenario kedua ini cukup berhasil. Sorong Manokwari dan Jayapura segera “membara”. Beruntung Papua punya gubernur yang sigap dan segera bereaksi keras mewakili warganya. Beruntung pula Jawa Timur memiliki gubernur “turunan Gus Dur” yang segera minta maaf.

Akhirnya Papua dan Papua Barat mereda. Walau efek dominonya langsung merembet ke Makassar.

*Siapa yang paling diuntungkan dalam kasus “diskriminatif-rasialis” ini?*

Pertanyaan ini harusnya dilanjutkan dengan pertanyaan lanjutan. Siapa yang akan “bergerak” seandainya umat Kristen bereaksi atas kasus “Salib UAS”?

Kelompok mana yang akan tampil sebagai pembela UAS serta mengatas namakan diri sebagai “pembela agama”? Jawabannya jadi gampang dijawab kan?

Lalu soal Papua. Bukankah postingan-postingan di media sosial langsung dibanjiri dengan pembentukan opini bahwa warga Papua itu radikal, anti NKRI dan ingin merdeka?

Jika Papua anti NKRI, tidak nasionalis dan ingin memisahkan diri, bukankah sudah menjadi kewajiban “kelompok warga yang nasionalis” berjibaku bahkan berperang untuk mencegah Papua merdeka?

Jika pembentukan opini ini berjalan mulus, bukan tidak mungkin kerusuhan berdarah seperti di Ambon tahun 1998 terulang kembali.

*Negara harus segera hadir menyelesaikan (peluang) konflik ini*.

Pemerintah dan aparat keamanan wajib bertindak cepat. Usut tuntas dan segera padamkan api penyulut konflik horisontal melalui dua peristiwa ini.

Kasus “Salib UAS” jangan dibiarkan menguap. Dalang kasus penghinaan rasial Papua juga usut tuntas. Bara sekecil apapun harus segera dipadamkan supaya tidak membakar sekam.

Jakarta, 19 Agustus 2019

Pdt. Yerry Tawalujan, M.Th
(Ketua Umum Gerakan Kasih Indonesia – GERKINDO)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *