Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Profil

Connie Rahakundini Bakrie, Jenius Pengamat Militer Calon Kuat Menteri Pertahanan

56
×

Connie Rahakundini Bakrie, Jenius Pengamat Militer Calon Kuat Menteri Pertahanan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Jakarta, pilarnkri.com – Indonesia beruntung memiliki sosok jenius Connie Rahakundini Bakrie, analis pertahanan dan militer lulusan Asia Pacific Centre for Security Studies (APCSS) Honolulu, Hawaii dan peneliti di Institute of National Security Studies (INSS), Tel Aviv, Israel.

Media ini secara berseri akan menurunkan artikel Rahakundini tentang pemikirannya membangun pertahanan keamanan yang kuat di Indonesia. Berikut beberapa ulasan cerdas Connie mengenai poros maritim dunia, duperioritas udara sampai ke pesawat tempur siluman yang cocok dengan konteks pertahanan Indonesia.

Example 300x600

Visi Poros Maritim Dunia Presiden Joko Widodo adalah sebuah doktrin baru bagi pertahanan Indonesia di mana kita harus memiliki Superioritas Udara (Air Superiority) sebagai Maritime Iron Umbrella lautan kita, Blue Water Navy untuk keunggulan laut, dan Land Superiority untuk bisa ditempatkan kapan saja dan di mana saja ke luar wilayah.

Hal ini membutuhkan gagasan baru, namun harus realistis dengan berbagai inovasi cerdas untuk menembus berbagai kendala.

Dalam memenuhi peran sebagai Maritime Iron Umbrella diperlukan teknologi terkini guna menjamin superioritas udara dan unfair advantage.

Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan armada tempur terkini buatan Amerika Serikat (AS) selepas pembelian besar-besaran pesawat dan alutsista Rusia di era 1960-an.

Pesawat F-5E/F Tiger, A-4 Skyhawk eks Israel, hingga F-16A/B Fighting Falcon merupakan contoh alutsista buatan AS yang dibeli semasa era Presiden Soeharto.

Memang ini sempat terhalang dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu dan itu sudah lewat.

Kita kemudian sempat beralih kepada sekutu kita yaitu Rusia dengan membeli pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 pada 2003 dan saat ini dilanjutkan dengan pembelian Su-35.

Meski demikian, bila dibandingkan filosofi teknikal dan logistiknya berbeda dengan buatan Amerika Serikat. Buatan Amerika terkenal dengan keandalannya, mudah dirawat, dan ketersediaan spare parts yang mudah didapat.

F-16 seperti halnya F/A-18 series contohnya, disebut sebagai pesawat “Sejuta Umat” dengan komunitas pengguna yang luas dan suku cadang yang berlimpah.

Saya berpikir, kita ada baiknya melanjutkan tradisi ini, namun dengan twist yang lebih advanced lagi. Yaitu, kita membeli F-35 Lightning II buatan Lockheed Martin, AS yang kita sambung dengan paket produksi lokal F-16 seri terbaru.

Atau opsi berikutnya adalah, F-35 bisa kita kombinasikan dengan akses kita pada teknologi yang diberikan dalam Program KF-X/IF-X antara Korea Selatan dan Indonesia. Seperti diketahui, hal ini juga dilakukan pihak Korea Selatan dengan pembelian F-35 mereka.

Keunggulan

Secara taktis F-35 Lightning II adalah pesawat DAY ONE, artinya pesawat yang digunakan untuk menembus pertahanan lawan dalam sebuah gerak ofensif secara kasat radar (dengan senjata disembunyikan di dalam perutnya).

Hal ini sangat berguna untuk menghantam Central of Gravity musuh hingga menetralkan kekuatan udara lawan dan melumpuhkan banyak hal yang membuat serangan berikutnya lebih mudah.

Kemudian, setelah DAY ONE dikuasai, pesawat F-16 dan Su-35 dapat melanjutkan penyerangan dengan lebih mudah. Tentunya F-35 bisa kembali menjadi spearhead dalam kampanye udara ini.

Memang, sempat ada satu testing di mana F-35 dipecundangi oleh F-16 dan menjadi lahan bully di media. Namun konteksnya saat itu, F-35 belum dicat dan menggunakan fitur silumannya.

Kemudian percobaan berikutnya, F-35 memperlihatkan kegarangan aslinya. Selain siluman (lebih tepatnya Low Observable) juga dengan mempunyai 360 derajat awareness-nya, pilot F-35 bisa melihat pesawat musuh dari helm muktahirnya sehingga lebih unggul dari pesawat lawan.

Hal berikutnya, adalah masalah logistik dan perawatan. Seperti semua jenis pesawat buatan Barat, terutama AS, menggunakan prinsip economical mass atau massal ekonomis. Produksi sebanyak mungkin sehingga harga akan menjadi lebih murah.

F-35 termasuk di dalam filosofi tersebut. Dengan sembilan negara partisipan produksi, suku cadang akan berlimpah dan memudahkan rantai logistiknya.

Untuk perawatan demikian juga, semudah merawat F-16 series yang sudah kita miliki.

Secara teknologi F-35 akan menambah penguasaan teknologi perang pada pilot dan tim pendukung TNI AU serta industri nasional baik BUMN maupun swasta yang ingin berpartisipasi.

Dalam kepentingan nasional, teknologi siluman dibutuhkan jika ingin menjadi yang terbaik. Bukan mediocre dalam pertahanan kita. Ini sekaligus kritik saya pada ToT (Transfer of Technology) yang merupakan wishfull thinking.

Tentu kita bisa melakukan riset mandiri yang akan sangat lama dan jauh lebih mahal dalam mengembangkan teknologi siluman. Atau, membeli teknologi tersebut dan meminta menjadi bagian dari rantai suplainya (seperti telah kita lakukan saat pembelian F-16 terdahulu).

Kemudian dalam konteks ini, sebagai deal feature juga memproduksi pesawat Generasi 4++ seperti F-21 atau F-16 Viper. Atau, membantu IF-X yang kita tidak mendapatkan akses teknologi dari sisi Korea Selatan (yang dibantu oleh Lockheed Martin).

Kendala

Pesawat F-35 adalah yang paling mahal dibanding pesawat lainnya, karena memang ini pesawat generasi ke-5 bukan lagi generasi ke-4++. Apalagi jika kita memilih varian F35B dengan kemampuan STOVL (terbang dan mendarat secara vertikal).

Masalah APBN tentunya akan terbebani. Meskipun demikian, dengan sistem manajemen tertentu, penerimaan pajak dari industri yang terlibat bisa saja dimungkinkan.

Tentunya kita juga bisa melakukan imbal dagang, seperti menggunakan komoditi yang Indonesia hasilkan. Sehingga, semahal apapun kita membeli, bisa diimbangi dengan ekspor.

Seperti Thailand dulu membayar pesawat produk IPTN (PT Dirgantara Indonesia kini) dengan beras ketan atau Malaysia yang membeli pesawat buatan BAE Systems dari Inggris dengan kelapa sawitnya.

Namun yang pasti, ini adalah tantangan yang harus dikembangkan model manajemen solusinya.

Kesiapan industri adalah kendala berikutnya. Mengandalkan BUMN tentu saja dimungkinkan, namun seperti yang kita ketahui kapasitasnya sangat terbatas seperti halnya PTDI.

Namun, ini pun tentunya tantangan. Ada beberapa model seperti Konsorsium BUMN atau memperbaiki PTDI dan menarik dana masyarakat melalui IPO.

Gagasan lainnya atau kombinasinya, yaitu dengan menarik swasta nasional dalam program ini. Tentunya dengan proyeksi keuntungan yang jelas bagi semua pihak.

Mengejar penguasaan dan produksi teknologi militer, akan menghasilkan spin off pada industri sipil dengan implikasi bisnis yang biasanya tinggi. Seperti GPS militer, ternyata mampu melahirkan varian produk turunan yang memanfaatkan GPS dan ujungnya memberikan pajak pada negara.

Kendala berikutnya adalah embargo terutama pihak Amerika Serikat. Kita pernah trauma pada embargo AS pada semua pesawat militer produknya karena kasus pelanggaran HAM Timor Timur.

Namun perlu diingat, kita juga pernah merasakan embargo Uni Soviet pada kasus yang sama yaitu pelanggaran HAM genosida pengikut PKI. Keduanya menghasilkan kelumpuhan bagi TNI AU dalam melakukan operasi.

Ketakutan akan embargo, sebenarnya sederhana saja. Selama kita tidak melanggar kaidah universal seperti pelanggaran HAM dan melakukan politik yang ekspansionis, sebenarnya hal ini tidak perlu di khawatirkan.

Politik Luar Negeri Indonesia, saya percaya akan mengaturnya dengan baik. Indonesia dulu lahir dengan keterampilan dan ketangguhan diplomasi untuk kepentingan nasional. Sekarang kita harus lebih baik lagi dari masa lalu.

Versi Indonesia

Varian F-35 yang sesuai untuk Indonesia adalah F35B STOVL menggunakan TurboLift System. Karena geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau, yang artinya banyak “kapal induk” pangkalan yang secara alamiah memperkuat kemampuan tempur secara strategis. Kita bisa muncul di mana saja meskipun tanpa landasan yang mudah dipantau dari pengamatan udara.

Namun ada juga pertimbangan bahwa yang paling cocok adalah F-35A, varian konvensional tanpa TurboLift system. Ini lebih murah mengingat landasan pesawat di pangkalan militer Indonesia maupun bandara-bandara besar sudah banyak yang mumpuni dalam standar NATO.

Sehingga, dengan membeli varian F-35A bisa menghemat anggaran yang signifikan dan juga memiliki jarak jangkau yang lebih luas karena tidak terbebani TurboLift System yang tidak terpakai saat cruise mode terbangnya.

Namun tentunya, sekali lagi, semua gagasan ini membutuhkan pertimbangan yang sangat dalam. Yaitu, dengan mempertimbangkan sebanyak mungkin aspek serta desain kebijakan terbaik yang menguntungkan negeri ini sebelum menjadi sebuah keputusan politik.

Dengan doa, berpikir, dan bekerja keras, Chakra yang saya sebut sebagai sandi Proyek Akuisisi Jet Siluman F-35 oleh Indonesia dapat kita wujudkan.

(16/9/2019)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *